Upaya Bersama Menolak Punah Dengan Save Day Berbasis People Power

 

Demonstrasi global warming di Eropa
(Gatra, 22 Juni 2019)

Alarm keberlangsungan kehidupan yang ada di muka bumi sedang berbunyi nyaring. Dunia seperti tidak diberi kesempatan leluasa untuk sekedar mengambil napas panjang. Belum sepenuhnya selesai menghadapi keganasan Covid-19 yang menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah membunuh 15 juta orang dalam dua tahun pertama bahkan kemungkinan lebih, bumi yang merupakan tempat kita hidup sekarang pun sedang dihantui oleh suatau bahaya besar yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan. Yang mirisnya manusialah yang menjadi pemicu terbesar hal itu dapat dengan cepat menjadi kenyataan. Bahaya besar itu bernama krisis iklim yang merupakan dampak dari cepatnya proses perubahan iklim yang terjadi.

Perubahan iklim yang dapat menyebabkan krisis iklim sehingga bisa mengancam kehidupan di bumi bukanlah suatu kabar burung tanpa adanya riset. Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) dimana merupakan wadah dari ilmuwan dunia yang bertugas meriset keadaan iklim global telah merilis temuannya yang seakan menampar kita untuk cepat tanggap akan masalah iklim ini. IPCC pada laporannya tahun 2021 menyebutkan bahwa bumi bisa mencapai kenaikan suhu 1,5° C atau bisa melampauinya  hanya dalam 2 dekade saja. Bayangkan, suhu dunia yang sekarang saja sudah membuat kita betah dalam ruangan ber-AC, bagaimana jika terus naik? Semua ini tergantung pada kesadaran dan kepedulian kita sebagai penghuni bumi.

Krisis iklim haram hukumnya dianggap enteng oleh umat manusia. Ini meruapakan fenomena nyata yang telah kita rasakan secara langsung sekarang, dimana suhu kian hari kian bertambah panas. Guru Besar Laboratorium Ekologi dan Konservasi UGM, Prof. Dr. Tjut Sugandawaty Djohan, M.Sc., menyatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan dari krisis iklim sangat beragam dan kesemuanya dapat mengancam kehidupan jika tidak cepat ditanggapi. Bencana alam, cuaca ekstrem, degradasi lingkungan, kelangkaan pangan dan air bersih serta gangguan ekonomi dan konflik antar umat manusia menurutnya menjadi dampak nyata dari krisis iklim yang akan terjadi. Kesemua dampak yang disebutkan Prof. Tjut rasanya dapat menggagalkan cita-cita para pemimpin dunia, termasuk Indonesia yang termaktub dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Yang dimana memuat 17 tujuan yang kesemuanya bermaksud untuk menyejahterakan kehidupan umat manusia pada tahun 2030 mendatang.

Terjadinya perubahan iklim yang begitu cepat sehingga menyebabkan krisis iklim bukan tanpa sebab. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuturkan bahwa cepatnya perubahan iklim yang terjadi secara langsung ataupun tidak langsung merupakan ulah dari tangan manusia. Naiknya suhu di bumi merupkan akibat dari terperangkapnya panas matahari oleh atmosfer bumi ditambah dengan meningkatnya gas karbondioksida, metana dan nitrous oxide  yang membuat pansanya semakin meningkat.  Ketiga gas tersebut tak lain disebabkan oleh aktivitas manusia. Dan ketika gas-gas tersebut terus meningkat keberadaannya di atmosfer maka hasil akhirnya adalah suhu bumi akan bertambah panas yang dikenal dengan istilah global warming (Pratama, n.d.). Semakin pesatnya kegiatan industri, kegiatan eksploitasi energi fosil serta tidak henti-hentinya sampah plastik diproduksi menjadi penyebab utama dari meningkatnya ketiga gas yang menahan panas matahari tersebut.  

Di antara sekian banyaknya penyebab suhu bumi meningkat akibat dari efek gas rumah kaca, terdapat penyebab yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia bahkan hampir tidak disadari sebagai penyumbang gas karbondioksida terbesar yang bertanggung jawab atas meningkatnya suhu bumi. Penyebabnya ialah dari penggunaan kendaraan bermotor baik sepeda motor ataupun mobil.  Susilo, dkk (2018) menyebutkan kendaraan bermotor sebagai sumber utama dari terjadinya polusi udara sudah tidak boleh diragukan lagi. Penelitian mereka menyatakan bahwa kurang lebih 50% yang bertanggung jawab atas tercemarnya lingkungan udara di perkotaan adalah sektor industri dan transportasi.  Hal ini harusnya menjadi perhatian semua pihak bahwa kendaraan bermotor yang kita gunakan setiap hari dan nyatanya sangat mempercepat laju terjadinya krisis iklim.

Lajunya krisis iklim terjadi sebagai akibat dari penggunaan kendaraan bermotor rasanya tidak disadari oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Realita yang terjadi adalah jumlah kendaraan bermotor di Indonesia dari tahun ke tahun terus merangkak naik. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data dalam situsnya bahwa dari tahun 2018 sampai 2020 kendaraan bermotor di Indonesia meningkat hampir mencapai 10 juta kendaraan. Sementara itu data yang terbaru dari Electronic Registration Identification (ERI) Korlantas Polri       menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 146.165.956 unit. Ini menunjukkan bahwa besarnya potensi terjadinya perubahan iklim sebagai akibat dari meningkatnya panas bumi dari polutan asap kendaraan bermotor. Bayangkan saja ada sekitar 146.165.956 unit yang terus-terusan bergantian menyemburkan gas seperti karbondioksida dan metana setiap harinya, belum lagi hutan yang menjadi ujung tombak untuk melawanan gas tersebut kian hari kian berkurang akibat dari aktivitas manusia juga. Memang di era yang serba cepat ini, manusia cenderung meimlih kendaraan bermotor sebagai alat transportasi karena lebih efisien sehingga menimbulkan kenyamanan. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah transporatasi tidak hanya terbatas pada kenyamanan tapi juga harus berkelanjutan. Tidak boleh jika akan berdampak negatif pada generasi-generasi selanjutnya.  

Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah sebagai elemen yang mempunyai berbagai fasilitas dan kekuasaan untuk mencegah ataupun mengatasi krisis iklim yang disebabkan oleh polusi kendaraan kian mendekat. Salah satunya yang masih hangat adalah upaya percepatan penggunaan kendaraan bertenaga listrik oleh Presiden Joko Widodo yang dianggap lebih ramah lingkungan.  Namun, langkah ini sepertinya sulit akan cepat terealisasi. Selain harganya yang sangat mahal, sarana dan prasarana kendaraan listrik di Indonesia belum memadai. Sedangkan kita harus berpacu dengan waktu yang semakin cepat untuk teradinya krisis iklim. Tidak hanya itu, solusi ini rasanya kurang begitu melibatkan masyarakat sebagai aspek penting dalam mencegah krisis iklim ini. Sehingga yang terjadi adalah kurangnya kesadaran serta rasa keterlibatan masyarakat atas upaya yang besar ini. Oleh karena itu, diperlukan suatu gerakan yang dapat melibatkan semua elemen masyarakat. Diperlukan adanya suatu People Power  yang mengharuskan semua kalangan ikut andil dalam upaya bersama mencegah terjadinya krisis iklim ini.

Secara definisi gerakan People Power  diartikan sebagai suatu aksi atau gerakan dari kelompok masyarakat besar dengan tujuan untuk terciptanya suatu perubahan. Gerakan ini menurut Manan (2020) terdiri atas individu-individu atau dengan kata lain adalah kumpulan lebih dari satu individu yang membentuk suatu kekuatan yang besar dalam upaya mewujudkan perubahan yang nyata. Dalam bidang politik istilah People Power sering digunakan ketika situasi politik dianggap menganggu kebebasan dan keadilan. Jika menilik dari aspek sejarah, di Indonesia gerakan People Power bukan lagi hal yang tabu. 21 Mei 1998 menjadi contoh paling bagus tentang bagaimana People Power dapat mebuat suatu perubahan. Oleh karena itu,  People Power rasanya tepat untuk diaplikasikan sebagai dasar dari upaya pencegahan krisis iklim. Tentunya gerakan  yang berbasis People Power untuk mencegah perubahan iklim bukanlah suatu gerakan yang berkonotasi negatif. Seperti turun ke jalan dengan anarkis dan cenderung mengganggu keamanan dan kenyamanan.  People Power yang dimaksudkan adalah gerakan bersama-sama untuk mencapai suatu perubahan.  Yang ditekankan adalah kebersamaan menjaga bumi yang kita tinggali. Salah satu cara inovatif yang bisa dijadikan upaya untuk mencegah semakin cepatnya perubahan iklim ialah gerakan “Save Day” Berbasis People Power.

Gerakan “Save Day” Berbasis People Power merupakan gerakan inovatif dan efektif  untuk mencegah laju perubahan iklim yang akan berujung pada krisis iklim.  Save Day itu sendiri sesuai artinya adalah diartikan sebagai hari penyelamatan. Sehinggga dapat disimpulkan gerakan ini adalah gerakan bersama seluruh elemen masyarakat (People Power) dalam satu hari dalam rangka menyelamatkan bumi yang kita tinggali bersama. Gerakan ini dikatakan efektif karena dapat langsung menyesar pada elemen bawah sampai atas di masyarakat. Sehingga semua kalangan masyarakat merasa bertanggung jawab dan terlibat dalam segala upaya menyelamatkan bumi. Hal yang menjadi fokus pada gerakan ini adalah bagaimana mengurangi penyebab utama dari naiknya suhu bumi yakni gas-gas polutan dari sisa asap kendaraan bermotor.

Baca juga : Senjata Melawan Pemberontakkan di Papua

Save Day  Berbasis People Power bermaksud mendorong semua elemen masyarakat tanpa terkecuali untuk bersama mengurangi polusi udara dari asap kendaraan. Yang dimana dalam 1 hari dari 1 pekan  semua elemen masyarakat tanpa terkecuali tidak menggunakan kendaran pribadinya yang menurut data terbaru dari Korlantas Polri mencapai 146.165.956 unit itu. Pada satu hari itu (Save Day) masyarakat didorong untuk bermobilisasi menggunakan transportasi umum yang disediakan oleh pemerintah. Jadi polusi udara yang diakibatkan oleh asap kendaraan bermotor yang juataan itu dapat menurun sangat drastis dalam satu hari tersebut.

Tidak hanya itu, hal-hal kreatif untuk membantu mengkampanyekan gerakan ini juga harus dilakukan oleh masyarakat dalam satu hari itu. Tentunya di era kemauan teknologi seperti ini, hal-hal mengenai penyebaran informasi dapat di akses dengan begitu cepat. Ini bisa membantu dalam proses penyebaran gerakan ini. Penyebarannya dapat dilakukan melalui media sosial berupa Facebook, Instagram,  Youtube ataupun media yang sedang marak digunakan oleh masyarakat utamanya Generasi Z yakni TikTok. Dengan begitu kreatifitas masyarakat utamanya Generasi Z dapat digunakan pada hal-hal yang bisa menyelamatkan bumi kita. Banyak hal bisa dilakukan seperti membuat video, foto dan tulisan yang tentunya disertai dengan hashtag #saveday.

Tentunya gerakan semacam ini perlu untuk didukung oleh semua pihak, utamanya pemerintah. Pemerintah sebagai penentu kebijakan diharapkan mendukung penuh seperti yang paling penting dalam hal sarana dan prasarana transportasi umum. Transporatsi umum perlu untuk ditingkatkan lagi secara kualitas dan kuantitas. Kenyamanan dan ketertiban menjadi hal penentu minat masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transporatsi umum. Yang nantinya juga dapat membantu mengurangi laju perubahan iklim.

Untuk meuwujudakan cita-cita Sustainable Development Goals (SDGs)  tahun 2030 di Indonesia diperlukan kesadaran bersama akan pentingnya menjaga lingkungan. Kehidupan yang terus berkelanjutan ke generasi selanutnya bergantung pada apa yang generasi sekarang lakukan. Dengan berbagai pertanda yang dapat dirasakan, sudah saatnya kita semua tanpa terkecuali  bergerak “melawan” untuk kehidupan. Sebab salah satu warisan terbaik yang dapat diwariskan pada generasi selanjutnya adalah lingkungan sehat.       

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pilkada, hak demokrasi atau nafsu oligarki?

Miras atau Miris?

MOMENTUM KEMERDEKAAN : AYO PERANGI HOAKS JELANG PESTA DEMOKRASI!