Miras atau Miris?


Negeri kita beberapa hari ini tengah gaduh lagi. Tidak mengherankan bukan? Sebab ini salah satu budaya negeri tercinta ini. Seperti ada yang kurang jika pemerintah tak membuat kontroversi pada masyarakat dan mungkin begitu sebaliknya. Mungkin. Kita patut berbangga, selain korup, kegaduhan menjadi salah satu budaya yang sampai sekarang masih dipegang teguh bangsa kita. Setidaknya menambah daftar budaya dari sekian banyak budaya kan?

Kegaduhan ini berhulu dari terbitnya Perpres No 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Dari namanya tidak ada yang aneh. Namun isinyalah yang dipermasalahkan. Di antara isinya adalah memperbolehkan investasi minuman keras (miras) di 4 daerah di Indonesia, yakni Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, Bali dan Papua. Artinya minuman keras di 4 daerah tersebut dilegalkan oleh pemerintah. Masyarakat bebas menjual dan membelinya. Tak akan ada razia dan apa pun itu yang menghambat aktivitas mabuk di 4 daerah tersebut.

Pemerintah sebagai penerbit peraturan berdalih bahwa hal ini bagus untuk dilakukan. Budaya dan kearifan lokal menjadi tameng mereka dalam menerbitkan peraturan ini. Walaupun masih menjadi pertanyaan publik sejak kapan Indonesia menjadikan miras sebagai budaya? Yang ada miras hanyalah suatu ajang pelarian dari segala masalah yang dianggap beban. Ini sama saja merendahkan tempat yang dikatakan miras sebagai budaya di sana. Bagaimana mungkin perbuatan itu dijadikan budaya? Saya rasa Indonesia tidak pernah kehabisan budaya hingga memilih  mabuk-mabukan sebagai salah satu daftar budaya. Indonesia masih punya korupsi.

Tidak hanya budaya, mereka menyebutkan bahwa aturan ini dapat menarik wisatawan asing masuk ke Indonesia. Mereka berpandangan bahwa wisatawan asing akan merasa nyaman dengan dilegalkan miras. Wisatawan asing mau bersenang-sengang di sini menurut mereka. Ini pemikiran kurang kreatif. Dari sekian banyak hal yang dapat kita lakukan untuk membuat wisatawan asing nyaman berlibur di sini, mengapa melegalkan miras menjadi hal yang dilakukan? Bagaiman dengan kualitas sarana, kemampuan bahasa Inggris, kemudahan administrasi, dan segalanya yang akan membuat nyaman? Mengapa mereka yang bertamu kita yang harus ikut budaya mereka? Mengapa bukan mereka yang harus tunduk dan patuh pada budaya kita? Bukan kah di mana bumi dipijak di situ langit di junjung?

Oke,  jika alasannya semacam itu. Ayo setelah ini legalkan prostitusi, judi dan segala yang kiranya dapat membuat wisatawan nyaman. Bukankah itu tujuannya? Jika ingin mendapatkan hasil besar tidak mungkin dengan usaha yang sedikit. Bagaimana membuat wisatawan asing nyaman jika hanya miras yang kau legalkan? Mereka juga butuh seks bebas, ganja, sabu, judi, dan masih banyak lagi yang mungkin kau lebih paham. Jangan setengah-setengah jika ingin menjadikan tamu adalah raja.  

Tak usah pikir generasi bangsa. Wisatawan asing lebih menguntungkan untuk sekarang. Investor lebih menjamin bagimu. Mereka akan memberimu semua yang kau mau. Kami tak punya yang kau mau, bukan? Kami hanya bisa memberimu pajak yang kau wajibkan. Memberimu patuh yang kau harapkan. Memberimu harapan yang kau campakkan.

Moral generasi bangsa? Tidak usah repot-repot memikirkan itu. Dengan kau legalkan miras kita tahu berasama apa yang akan terjadi dengan moral anak bangsa. Kalau nanti kejahatan dan kebobrokan moral kian marak, kau tinggal tuntun kami ke meja hijau dan ketok palu. Mudah bukan?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pilkada, hak demokrasi atau nafsu oligarki?

MOMENTUM KEMERDEKAAN : AYO PERANGI HOAKS JELANG PESTA DEMOKRASI!