"Senjata" Melawan Pemberontakan di Papua


      “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia”. Begitulah kira-kira anggapan dari presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan, Nelson Mandela. Memang benar pendidikan memang sangat penting untuk mengubah sebuah bangsa, bahkan dunia. Tidak terkecuali tanah kaya di timur Indonesia. Papua.

Papua memang kaya. Bertahun-tahun tanahnya digali, tapi tidak pernah habis emas didapati. Entah sudah berapa negara datang membawa pulang emas Papua, tidak pernah juga terdengar berita stok emas akan habis. Ini baru emas, belum lagi minyak, nikel, gas dan sebagainya yang sampai membuat tanah Papua dijuluki surga di timur Indonesia.

Dengan semua kekayaan Papua, timbul pertanyaan, mengapa dengan kekayaan yang luar biasa itu,  Papua masih tergolong daerah paling miskin tahun 2020 menurut Badan Pusat Statistik (BPS)? Dengan semua kekayaan itu mengapa masih saja muncul pemberontakan-pemberontakan yang berdasrkan pada ketidakadilan? Sehingga memunculkan korban-korban dari sipil hingga aparat yang tidak bersalah. Sampai kapan masalah seperti ini dapat diselesaikan di tanah Papua?

Permasalahan ketidakadilan di Papua telah berlangsung sejak lama. Segelintir masyarakat Papua merasa di anak tirikan oleh negara, sehingga pada akhirnya membentuk organisasi yang bertujuan untuk menjadikan Papua menjadi negara baru yang menurut mereka “merdeka” yakni Organisasi Papua Merdeka (OPM). Organisasi yang dibentuk tahun 1965 ini telah melakukan serangkaian aksi yang sangat merugikan yang bermaksud untuk menarik simpati dari dunia internasional. Fasilitas umum dibakar, pesawat ditembak, warga sipil dan aparat dibunuh hingga yang terbaru adalah gugurnya kepala BIN Papua dalam kontak tembak Minggu 25 April 2021. Yang kemudian merubah status kelompok tersebut dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi Teroris.

Pemerintah bukan menutup mata pada masalah ketidakadilan di Papua ini. Beberapa pendekatan sosial telah dilakukan untuk meredeam aksi dari OPM. Pembanguan jalan trans Papua, pemberlakuan BBM satu harga, pembanguan infrastruktur seperti bandara, jembatan dan listrik, menjadi langkah yang telah dan sedang dikerjakan demi menampik anggapan tentang ketimpangan antara pulau Jawa dan Papua.

Tapi serangkaian upaya tersebut seperti tidak terlalu berpengaruh. Kelompok-kelompok kriminal yang sekarang ditetapkan jadi teroris ini terus menjalankan aksinya. Sehingga menjadi evaluasi bahwa pembanguan infrastruktur bukan merupakan solusi utama dari permasalahan Papua. Ada hal lain yang rasanya terlewat. Ada hal lain yang tidak kalah penting dari itu, yakni pendidikan.

Seperti yang dikatan Nelson Mandela, senjata untuk mengubah suatu bangasa adalah pendidikan. Bahwa untuk mengubah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan terlebih dahulu. Ini yang masih kurang dalam upaya menyelesaikan masalah di tanah Papua. Pemerintah terlalau berfokus pada pembanguan infrastruktur fisik sampai lupa pada pembangunan sumber daya manusia Papua yang dapat meningkatkan kesejahteraan masayrakat. Bukan menganggap infarstruktur fisik tidak penting, Infarstruktur fisik juga penting. Tapi bukan berarti sampai melupakan sesuatu yang sama penting, yakni pendidikan.

 Bagaimana mungkin sumber daya alam yang kaya bisa dinikmati sendiri oleh rakyat Papua? Sedangkan sumber daya manusia di sana tidak berkompetensi dalam pengelolaaan. Sehingga akan berbuntut pada perekrutan semberdaya manusia dari luar Papua. Yang hanya akan menambah kecemburuan sosial dari rakyat Papua. Oleh karena itu pembanguan sumber daya manusia harus menjadi fokus pemerintah demi meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.

Pendidikan di Papua memang cukup meprihatinkan. Ini bukan kabar burung saja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 menyebutkan bahwa Papua masih menjadi provinsi dengan angka buta huruf tertinggi di Indonesia, dengan presentase mencapai 21.9%. Ini menunjukkan masih ada pekerjaan rumah yang besar dari pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Papua. Pendidikan yang terbelakang seperti ini hanya akan memunculkan gerakan-gerakan pemberontakan baru yang mengatasnamakan ketidakadilan sosial. Miris memang, dengan tanah sekaya Papua tapi pendidikannya masih sangat tertinggal.

Angka buta huruf di Papua yang tinggi juga menjadi cambuk bagi negara, bahwa pemerataan pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya terjadi. Masih banyak sekolah-sekolah di pelosok Papua yang belum tersentuh pembangunan dan pemerataan. Pembangunan sekolah-sekolah yang dengan fasilitas memadai memang harus terus dilakuan. Memang, kendala medan yang sulit di pelosok-pelosok Papua menjadi masalah yang tidak mudah. Yang kemudia lagi-lagi menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam hal pemerataan pendidikan sehingga rakyat Papua dapat mendapatkan pendidikan yang sama dengan yang didapatkan pulau Jawa.

 Senjata memerlukan peluru. Sama halnya dengan Papua, senjata (pendidikan) butuh peluru, dimana peluru terbaik adalah guru atau tenaga pengajar. Ya, pembangunan sekolah-sekolah juga harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pengajar di Papua. Dengan kondisi Papua seperti sekarang, banyak guru-guru hebat yang menolak untuk mengajar di Papua. Sehingga akan berdampak pada kurangnya tenaga-tenaga pendidik berkompeten yang dibutuhkan dalam membangun sumber daya manusia di Papua. Pemerintah dituntut lebih merata dalam mendistribusikan guru-guru berkualitas ke tanah Papua. Untuk hal ini tentunya kembali lagi pada kesejahteraan dan keamanaan guru-guru tersebut saaat bertugas di sana, hal ini juga harus diperhatikan. Pemerintah harus menjamin hal ini. Agar tidak ada lagi guru-guru hebat yang takut datang mengajar ke Papua.

Dengan pendidikan yang baik, rakyat Papua dapat mengelola kekayaan mereka sendiri, shingga manfaat dan keuntungan dari kekayaan alamnya dapat mereka nikmati sendiri. Dengan pendidikan, rakyat Papua tidak lagi merasa rendah, yang menjadi penyebab turunnya daya saing pemuda-pemuda Papua. Dan dengan pendidikan juga rakyat Papua dapat lebih mencintai Indonesia. Dan itu yang sama-sama kita harapkan.

Tentunya peningkatan kualitas pendidikan di Papua diharapkan tidak hanya sebagai cara untuk mengejar ketertinggalan pendidikana di sana. Tapi, lebih dalam dari itu yakni generasi baru Papua yang berkualitas harus di bangun. Orang-orang sekarang di Papua yang mengangkat senjata harus diganti dengan generasi baru yang cerdas dan berintelektual. Orang-orang sekarang yang tidak bisa mengolah kekayaan Papua harus diganti dengan generasi baru yang mempunyai pengetahuan pengeloaan, sehingga tidak lagi merasa bahwa kekayaan mereka telah dicuri. Dan hanya dengan pendidikan berkualitaslah semua itu bisa terwujud. Orang-orang sekarang di Papua yang mengangkat senjata harus diganti dengan generasi baru yang cerdas dan berintelektual. Membiarkan pendidikan di Papua terbelakang itu sama saja merawat gerakan-gerakan separatis di Papua.

Dalam kasus Papua, pendidikan memang adalah senjata yang paling aman dalam melawan pemberontakan separatis di Papua. Persoalan di Papua kurang tepat jika harus dilawan dengan kekerasan. Kekerasan hanya akan menimbulkan dendam baru yang kemudian akan memunculkan kembali kelompok-kelompok pemberontak baruu. Satu anak Papua tertembak, maka akan muncul seribu anak Papua baru yang akan membalskan dendam dan  melanjutkan perjuangan yang mereka anggap benar. Tidak akan pernah habis jika kekerasan dibalas kekerasan dan kematian dibalas kematian.

Pendidikan yang baik akan menghasilkan manusia-manusia yang baik pula. Ini yang perlu menjadi fokus dari pemerintah. Bahwa infrastruktur fisik memang penting demi meredam anggapan ketidakadilan, namun di satu sisi pemerintah juga harus lebih berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan di Papua. Sebab dengan pendidikan masyarakat Papua dapat memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru. Dengan pengetahuan-pengetahun baru tersebut diharapkan rakyat Papua dapat menikmati sendri kekayaan alam mereka.  Yang berakibat pada hilangnya anggapan bahwa Papua adalah anak tiri dari Indonesia. Karena Papua adalah saudara kita. Papua adalah Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pilkada, hak demokrasi atau nafsu oligarki?

Miras atau Miris?

MOMENTUM KEMERDEKAAN : AYO PERANGI HOAKS JELANG PESTA DEMOKRASI!