"Senjata" Melawan Pemberontakan di Papua
Papua memang kaya. Bertahun-tahun
tanahnya digali, tapi tidak pernah habis emas didapati. Entah sudah berapa
negara datang membawa pulang emas Papua, tidak pernah juga terdengar berita
stok emas akan habis. Ini baru emas, belum lagi minyak, nikel, gas dan
sebagainya yang sampai membuat tanah Papua dijuluki surga di timur Indonesia.
Dengan semua kekayaan Papua, timbul
pertanyaan, mengapa dengan kekayaan yang luar biasa itu, Papua masih tergolong daerah paling miskin
tahun 2020 menurut Badan Pusat Statistik (BPS)? Dengan semua
kekayaan itu mengapa masih saja muncul pemberontakan-pemberontakan yang
berdasrkan pada ketidakadilan? Sehingga memunculkan korban-korban dari sipil
hingga aparat yang tidak bersalah. Sampai kapan masalah seperti ini dapat
diselesaikan di tanah Papua?
Permasalahan ketidakadilan di Papua
telah berlangsung sejak lama. Segelintir masyarakat Papua merasa di anak
tirikan oleh negara, sehingga pada akhirnya membentuk organisasi yang bertujuan
untuk menjadikan Papua menjadi negara baru yang menurut mereka “merdeka” yakni
Organisasi Papua Merdeka (OPM). Organisasi yang dibentuk tahun 1965 ini telah melakukan
serangkaian aksi yang sangat merugikan yang bermaksud untuk menarik simpati
dari dunia internasional. Fasilitas umum dibakar, pesawat ditembak, warga sipil
dan aparat dibunuh hingga yang terbaru adalah gugurnya kepala BIN Papua dalam
kontak tembak Minggu 25 April 2021. Yang kemudian merubah status kelompok
tersebut dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi Teroris.
Pemerintah bukan menutup mata pada
masalah ketidakadilan di Papua ini. Beberapa pendekatan sosial telah dilakukan
untuk meredeam aksi dari OPM. Pembanguan jalan trans Papua, pemberlakuan BBM
satu harga, pembanguan infrastruktur seperti bandara, jembatan dan listrik,
menjadi langkah yang telah dan sedang dikerjakan demi menampik anggapan tentang
ketimpangan antara pulau Jawa dan Papua.
Tapi serangkaian upaya tersebut
seperti tidak terlalu berpengaruh. Kelompok-kelompok kriminal yang sekarang
ditetapkan jadi teroris ini terus menjalankan aksinya. Sehingga menjadi
evaluasi bahwa pembanguan infrastruktur bukan merupakan solusi utama dari
permasalahan Papua. Ada hal lain yang rasanya terlewat. Ada hal lain yang tidak
kalah penting dari itu, yakni pendidikan.
Seperti yang dikatan Nelson
Mandela, senjata untuk mengubah suatu bangasa adalah pendidikan. Bahwa untuk
mengubah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua adalah dengan meningkatkan
kualitas pendidikan terlebih dahulu. Ini yang masih kurang dalam upaya menyelesaikan
masalah di tanah Papua. Pemerintah terlalau berfokus pada pembanguan
infrastruktur fisik sampai lupa pada pembangunan sumber daya manusia Papua yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masayrakat. Bukan menganggap infarstruktur
fisik tidak penting, Infarstruktur fisik juga penting. Tapi bukan berarti
sampai melupakan sesuatu yang sama penting, yakni pendidikan.
Bagaimana mungkin sumber daya alam yang kaya
bisa dinikmati sendiri oleh rakyat Papua? Sedangkan sumber daya manusia di sana
tidak berkompetensi dalam pengelolaaan. Sehingga akan berbuntut pada perekrutan
semberdaya manusia dari luar Papua. Yang hanya akan menambah kecemburuan sosial
dari rakyat Papua. Oleh karena itu pembanguan sumber daya manusia harus menjadi
fokus pemerintah demi meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.
Pendidikan di Papua memang cukup
meprihatinkan. Ini bukan kabar burung saja. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) 2019 menyebutkan bahwa Papua masih
menjadi provinsi dengan angka buta huruf tertinggi di Indonesia, dengan
presentase mencapai 21.9%. Ini menunjukkan masih ada pekerjaan rumah yang besar
dari pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Papua. Pendidikan yang
terbelakang seperti ini hanya akan memunculkan gerakan-gerakan pemberontakan
baru yang mengatasnamakan ketidakadilan sosial. Miris memang, dengan tanah
sekaya Papua tapi pendidikannya masih sangat tertinggal.
Angka buta huruf di Papua yang tinggi juga menjadi
cambuk bagi negara, bahwa pemerataan pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya
terjadi. Masih banyak sekolah-sekolah di pelosok Papua yang belum tersentuh
pembangunan dan pemerataan. Pembangunan sekolah-sekolah yang dengan fasilitas
memadai memang harus terus dilakuan. Memang, kendala medan yang sulit di
pelosok-pelosok Papua menjadi masalah yang tidak mudah. Yang kemudia lagi-lagi
menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam hal pemerataan pendidikan
sehingga rakyat Papua dapat mendapatkan pendidikan yang sama dengan yang
didapatkan pulau Jawa.
Senjata
memerlukan peluru. Sama halnya dengan Papua, senjata (pendidikan) butuh peluru,
dimana peluru terbaik adalah guru atau tenaga pengajar. Ya, pembangunan
sekolah-sekolah juga harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas
pengajar di Papua. Dengan kondisi Papua seperti sekarang, banyak guru-guru
hebat yang menolak untuk mengajar di Papua. Sehingga akan berdampak pada
kurangnya tenaga-tenaga pendidik berkompeten yang dibutuhkan dalam membangun sumber
daya manusia di Papua. Pemerintah dituntut lebih merata dalam mendistribusikan
guru-guru berkualitas ke tanah Papua. Untuk hal ini tentunya kembali lagi pada
kesejahteraan dan keamanaan guru-guru tersebut saaat bertugas di sana, hal ini
juga harus diperhatikan. Pemerintah harus menjamin hal ini. Agar tidak ada lagi
guru-guru hebat yang takut datang mengajar ke Papua.
Dengan pendidikan yang baik, rakyat Papua dapat mengelola
kekayaan mereka sendiri, shingga manfaat dan keuntungan dari kekayaan alamnya
dapat mereka nikmati sendiri. Dengan pendidikan, rakyat Papua tidak lagi merasa
rendah, yang menjadi penyebab turunnya daya saing pemuda-pemuda Papua. Dan
dengan pendidikan juga rakyat Papua dapat lebih mencintai Indonesia. Dan itu
yang sama-sama kita harapkan.
Tentunya peningkatan kualitas pendidikan di Papua
diharapkan tidak hanya sebagai cara untuk mengejar ketertinggalan pendidikana
di sana. Tapi, lebih dalam dari itu yakni generasi baru Papua yang berkualitas
harus di bangun. Orang-orang sekarang di Papua yang mengangkat senjata harus
diganti dengan generasi baru yang cerdas dan berintelektual. Orang-orang
sekarang yang tidak bisa mengolah kekayaan Papua harus diganti dengan generasi
baru yang mempunyai pengetahuan pengeloaan, sehingga tidak lagi merasa bahwa
kekayaan mereka telah dicuri. Dan hanya dengan pendidikan berkualitaslah semua
itu bisa terwujud. Orang-orang sekarang di Papua yang mengangkat senjata harus
diganti dengan generasi baru yang cerdas dan berintelektual. Membiarkan pendidikan
di Papua terbelakang itu sama saja merawat gerakan-gerakan separatis di Papua.
Dalam kasus Papua, pendidikan memang adalah senjata
yang paling aman dalam melawan pemberontakan separatis di Papua. Persoalan di
Papua kurang tepat jika harus dilawan dengan kekerasan. Kekerasan hanya akan
menimbulkan dendam baru yang kemudian akan memunculkan kembali
kelompok-kelompok pemberontak baruu. Satu anak Papua tertembak, maka akan
muncul seribu anak Papua baru yang akan membalskan dendam dan melanjutkan perjuangan yang mereka anggap
benar. Tidak akan pernah habis jika kekerasan dibalas kekerasan dan kematian
dibalas kematian.
Pendidikan yang baik akan menghasilkan manusia-manusia
yang baik pula. Ini yang perlu menjadi fokus dari pemerintah. Bahwa
infrastruktur fisik memang penting demi meredam anggapan ketidakadilan, namun
di satu sisi pemerintah juga harus lebih berfokus pada peningkatan kualitas
pendidikan di Papua. Sebab dengan pendidikan masyarakat Papua dapat memperoleh
pengetahuan-pengetahuan baru. Dengan pengetahuan-pengetahun baru tersebut
diharapkan rakyat Papua dapat menikmati sendri kekayaan alam mereka. Yang berakibat pada hilangnya anggapan bahwa
Papua adalah anak tiri dari Indonesia. Karena Papua adalah saudara kita. Papua
adalah Indonesia.
Komentar
Posting Komentar